Wilayah cekungan Malang telah ada sejak masa purbakala menjadi kawasan pemukiman. Banyaknya sungai yang mengalir di sekitar tempat ini
membuatnya cocok sebagai kawasan pemukiman. Wilayah Dinoyo dan Tlogomas
diketahui merupakan kawasan pemukiman prasejarah.]Selanjutnya,
berbagai prasasti (misalnya Prasasti Dinoyo), bangunan
percandian dan arca-arca,
bekas-bekas pondasi batu bata,
bekas salurandrainase,
serta berbagai gerabah ditemukan dari periode akhir Kerajaan Kanjuruhan (abad ke-8 dan ke-9) juga ditemukan di
tempat yang berdekatan.
Nama
"Malang" sampai saat ini masih diteliti asal-usulnya oleh para ahli
sejarah. Para ahli sejarah masih terus menggali sumber-sumber untuk memperoleh
jawaban yang tepat atas asal-usul nama "Malang". Sampai saat ini
telah diperoleh beberapa hipotesa mengenai asal-usul nama Malang tersebut.
Malangkucecwara yang tertulis di dalam lambang kota
itu, menurut salah satu hipotesa merupakan nama sebuah bangunan suci. Nama
bangunan suci itu sendiri diketemukan dalam dua prasasti Raja Balitung dari Jawa Tengah yakni prasasti Mantyasih tahun 907, dan prasasti 908 yakni diketemukan di satu tempat
antara Surabaya-Malang. Namun demikian dimana letak sesungguhnya bangunan suci
Malangkucecwara itu, para ahli sejarah masih belum memperoleh kesepakatan. Satu
pihak menduga letak bangunan suci itu adalah di daerah gunung Buring, satu pegunungan yang membujur di
sebelah timur kota Malang dimana terdapat salah satu puncak gunung yang bernama
Malang. Pembuktian atas kebenaran dugaan ini masih terus dilakukan karena
ternyata, disebelah barat kota Malang juga terdapat sebuah gunung yang bernama
Malang.
Pihak
yang lain menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan suci itu terdapat di
daerah Tumpang, satu tempat di
sebelah utara kota Malang. Sampai saat ini di daerah tersebut masih terdapat
sebuah desa yang bernama Malangsuka, yang oleh sebagian ahli
sejarah, diduga berasal dari kata Malankuca yang diucapkan terbalik. Pendapat
di atas juga dikuatkan oleh banyaknya bangunan-bangunan purbakala yang
berserakan di daerah tersebut, seperti Candi Jago dan Candi Kidal,
yang keduanya merupakan peninggalan zaman Kerajaan Singasari.
Dari
kedua hipotesa tersebut di atas masih juga belum dapat dipastikan manakah
kiranya yang terdahulu dikenal dengan nama Malang yang berasal dari nama
bangunan suci Malangkucecwara itu. Apakah daerah di sekitar Malang
sekarang, ataukah kedua gunung yang bernama Malang di sekitar daerah itu.
Sebuah prasasti tembaga yang ditemukan akhir tahun 1974 di perkebunan Bantaran, Wlingi, sebelah barat daya
Malang, dalam satu bagiannya tertulis sebagai berikut : “………… taning
sakrid Malang-akalihan wacid lawan macu pasabhanira dyah Limpa Makanagran I
………”. Arti dari kalimat tersebut di atas adalah : “ …….. di sebelah timur
tempat berburu sekitar Malang bersama wacid dan mancu, persawahan Dyah Limpa
yaitu ………” Dari bunyi prasasti itu ternyata Malang merupakan satu tempat di
sebelah timur dari tempat-tempat yang tersebut dalam prasasti itu. Dari
prasasti inilah diperoleh satu bukti bahwa pemakaian nama Malang telah ada
paling tidak sejak abad 12 Masehi.
Nama
Malangkucecwara terdiri atas 3 kata, yakni mala yang berarti kecurangan, kepalsuan,
dan kebatilan; angkuca yang berarti menghancurkan atau
membinasakan; dan Icwara yang berarti "Tuhan".
Sehingga, Malangkucecwara berarti "Tuhan telah menghancurkan
kebatilan".
Hipotesa-hipotesa
terdahulu, barangkali berbeda dengan satu pendapat yang menduga bahwa nama
Malang berasal dari kata “Membantah” atau “Menghalang-halangi” (dalam bahasa
Jawa berarti Malang). Alkisah Sunan Mataram yang ingin meluaskan pengaruhnya ke
Jawa Timur telah mencoba untuk menduduki daerah Malang. Penduduk daerah itu
melakukan perlawanan perang yang hebat. Karena itu Sunan Mataram menganggap
bahwa rakyat daerah itu menghalang-halangi, membantah atau malang atas maksud
Sunan Mataram. Sejak itu pula daerah tersebut bernama Malang.
Timbulnya Kerajaan Kanjuruhan tersebut, oleh para ahli sejarah
dipandang sebagai tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat
ini, setelah 12 abad berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang.
Setelah
kerajaan Kanjuruhan, di masa emas kerajaan Singasari (1000 tahun setelah Masehi) di daerah Malang
masih ditemukan satu kerajaan yang makmur, banyak penduduknya serta tanah-tanah
pertanian yang amat subur. Ketika Islam menaklukkan Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1400, Patih Majapahit
melarikan diri ke daerah Malang. Ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan Hindu
yang merdeka, yang oleh putranya diperjuangkan menjadi satu kerajaan yang maju.
Pusat kerajaan yang terletak di kota Malang sampai saat ini masih terlihat
sisa-sisa bangunan bentengnya yang kokoh bernama Kutobedah di desa Kutobedah. Adalah Sultan
Mataram dari Jawa Tengah yang akhirnya datang menaklukkan daerah ini pada tahun
1614 setelah mendapat perlawanan yang tangguh dari penduduk daerah ini.
Seperti
halnya kebanyakan kota-kota lain di Indonesia pada umumnya, Kota Malang modern
tumbuh dan berkembang setelah hadirnya administrasi kolonial Hindia
Belanda. Fasilitas umum direncanakan sedemikian rupa agar memenuhi
kebutuhan keluarga Belanda. Kesan diskriminatif masih berbekas hingga sekarang,
misalnya ''Ijen Boullevard'' dan kawasan sekitarnya. Pada mulanya
hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda dan Bangsa Eropa lainnya,
sementara penduduk pribumi harus puas bertempat tinggal di pinggiran kota
dengan fasilitas yang kurang memadai. Kawasan perumahan itu sekarang menjadi
monumen hidup dan seringkali dikunjungi oleh keturunan keluarga-keluarga
Belanda yang pernah bermukim di sana.
Pada
masa penjajahan kolonial Hindia
Belanda, daerah Malang dijadikan wilayah "Gemente" (Kota).
Sebelum tahun 1964, dalam lambang kota
Malang terdapat tulisan ; “Malang namaku, maju tujuanku” terjemahan dari
“Malang nominor, sursum moveor”. Ketika kota ini merayakan hari ulang tahunnya
yang ke-50 pada tanggal 1 April 1964, kalimat-kalimat
tersebut berubah menjadi : “Malangkucecwara”. Semboyan baru ini diusulkan
oleh almarhum Prof. Dr. R.
Ng. Poerbatjaraka, karena kata tersebut sangat erat hubungannya
dengan asal-usul kota Malang yang pada masa Ken Arok kira-kira 7 abad yang lampau telah
menjadi nama dari tempat di sekitar atau dekat candi yang bernama
Malangkucecwara.
Kota
malang mulai tumbuh dan berkembang setelah hadirnya pemerintah kolonial
Belanda, terutama ketika mulai di operasikannya jalur kereta api pada tahun 1879. Berbagai kebutuhan
masyarakatpun semakin meningkat terutama akan ruang gerak melakukan berbagai
kegiatan. Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun
bermunculan tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat
pesat, seperti dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri.